sulutgreen'

Menjaga Mangrove, Menjaga Deaga

Menjaga Mangrove, Menjaga Deaga
Jembatan yang melintasi hutan mangrove di desa Deaga. Foto: Aditya Nugraha
DEAGA bisa disebut sebagai sebuah desa yang dikepung ekosistem mangrove. Sebab, desa yang terletak di kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara, nyaris seluruh pemukiman di dalamnya berhadapan langsung ataupun berada di tengah-tengah hutan mangrove, yang luasnya diperkirakan mencapai 150 hektar. Kondisi ini tentu saja menciptakan proses interaksi yang relatif erat antara masyarakat setempat dengan ekosistem mangrove.

Pada satu sisi, eksistensi tumbuhan pantai ini menjadi pelindung bagi perahu nelayan dari terjangan ombak dan badai. Selain itu, ia juga menjadi tempat ikan dan udang untuk memijah. Di lain sisi, interaksi masyarakat dengan mangrove juga menghadirkan bentuk-bentuk pemanfaatan untuk kepentingan tertentu. Lihat saja, bagaimana bangunan rumah sejumlah penduduk masih memanfaatkan daun Nypa fruticans. Tumbuhan mangrove sering pula dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan perahu, bagan hingga digunakan sebagai kayu bakar. Sampai di titik ini, pemanfaatan mangrove secara tidak berhati-hati bisa menimbulkan kerusakan lingkungan.
Menjaga Mangrove, Menjaga Deaga
Pohon Nypa dimanfaatkan untuk produksi gula merah. Foto: Aditya Nugraha
Namun, dampak kerusakan lingkungan terparah diperkirakan timbul karena alihfungsi lahan mangrove menjadi perkebunan, tahun 2006 silam. Saat itu, luas lahan yang dikonversi sekitar 60-70 hektar, meliputi wilayah desa Deaga dan desa Tobayagan. Banjir dan sedimentasi datang menyusul beberapa waktu kemudian. Masyarakat setempat menghubungkan kejadian ini dengan pembukaan lahan. Keadaan semakin diperparah dengan penebangan mangrove berjenis C. tagal dan Nypa fruticans untuk membuka akses jalan menuju desa Deaga. Di sepanjang aliran sungai pasang-surut, misalnya, ditemukan banyak tebangan pohon dan cabang dengan berbagai jenis dan ukuran. Diyakini, ancaman mangrove di desa ini tergolong sedang hingga berat, dan masih terus berlangsung hingga sekarang.

Fenomena tadi, bisa jadi faktor pendorong bagi sejumlah lembaga internasional, yang kemudian berjaring dengan lembaga lokal, untuk melibatkan diri dalam program-program rehabilitasi mangrove di desa Deaga. Tahun 2007-2012, misalnya, Sustainable Coastal Livelihood and Management (Susclam) melakukan identifikasi, pemetaan dan rehabilitasi mangrove di desa ini. Program Susclam bertujuan memperkuat pengelolaan ekosistem teluk Tomini yang lestari untuk meningkatkan penghidupan masyarakat pesisir. Sebagai wilayah yang di bagian selatannya berbatasan langsung dengan teluk Tomini, Deaga menjadi salah satu wilayah program rehabilitasi, dengan penanaman sekitar 25.000 bibit mangrove.  Susclam juga mendukung pengumpulan, penyebar luasan data dan informasi tentang tren dan kondisi tutupan lahan, terutama mangrove.

Tahun 2014-2015, Deaga kembali menjadi sasaran program rehabilitasi mangrove. Kali ini, Mangrove For the Future (MFF), sebuah program inisiatif berbasis kemitraan yang yang diketuai oleh IUCN dan UNDP yang berkeinginan mempromosikan investasi konservasi ekosistem di wilayah pesisir untuk pembangunan berkelanjutan. Di tingkat lokal, Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola), suatu lembaga yang berkantor di Manado, menjadi fasilitator program rehabilitasi di desa Deaga. Lewat program MFF, sebanyak 4.200 bibit Rhezopora Sp ditanam di sana.
Menjaga Mangrove, Menjaga Deaga
Inilah penampakan penampungan air gula Nypa. Foto: Aditya Nugraha
KANTONG plastik menggantung di sejumlah pohon Nypa fruticans. Ada yang sudah terisi air, ada pula yang masih kosong. Kita tidak akan pernah mengetahui maksud fenomena tadi bila tidak bercakap atau menanyakan langsung pada warga setempat. Sekilas, pemandangan tadi terlihat sebagai tindakan usil dari bocah-bocah kampung. Tapi, jangan salah. Warga desa Deaga sedang bereksperimentasi dengan plastik yang menggantung di pohon Nypa tadi.

Eksperimentasi? Ya, nyaris sebulan, sejak Desember 2014 hingga Januari 2015, mereka berupaya memproduksi gula merah dari tumbuhan Nypa fruticans. Praktik ini belum pernah dilakukan warga setempat. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, tumbuhan Nypa hanya dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan atap rumah. Tak ada yang menyangka bahwa air nira dari tumbuhan ini memiliki rasa manis, jernih dan tidak berbau, yang bisa menjadi bahan dasar pembuatan gula merah.

Selayaknya proses belajar, upaya memproduksi gula Nypa awalnya menemui kendala. Namun, dengan sabar dan ketekunan, dalam kurun sebulan warga desa Deaga berhasil memproduksi gula dari pohon mangrove. Lewat proses eksperimentasi ini, mereka menemukan bentuk pemanfaatan mangrove yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Tak cukup sampai di situ, keterampilan memproduksi gula merah dari tumbuhan Nypa berpotensi membuka peluang usaha bagi masyarakat setempat. Berdasarkan keterangan warga, di pasar lokal, contohnya, harga gula merah berkisar Rp20.000-Rp30.000. Keuntungan lain, produsen gula merah belum ada di kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Dengan terbukanya peluang usaha tersebut, maka ibu-ibu di desa Deaga bisa terlibat dalam upaya menopang ekonomi keluarga.

Pertanyaannya, apakah gula merah dari Nypa tidak berdampak buruk bagi tubuh? Sebuah hasil penelitian Endro Subiandono, dkk, nampaknya bisa menjadi referensi untuk pembaca sekalian. Dikemukakan, kandungan gizi gula nypa cukup baik, yang ditunjukkan oleh kadar karbohidrat (89,61%), protein (5,95%), kadar Ca (44,58 mg/kg) dan kalori sebesar 3.172 cal/gr. Dibanding gula merah yang lain, gula nypa mengandung NaCl (garam dapur) yang menyebabkan rasanya sedikit asin. Secara tidak langsung, dapat berdampak menambah rasa gurih pada makanan yang dicampur dengan gula ini.

Tumbuhan Nypa fruticans tidak hanya bisa dimanfaatkan sebagai gula merah. Riset itu juga menyebut bahwa, tumbuhan ini dapat diproduksi sebagai sumber pembuat tepung. Kandungan lemak (nabati) kasar dari tepung Nypa merupakan paling rendah (0,08%) di antara komoditi beras, jagung dan lain-lain. Serat kasar yang dikandung tepung buah Nypa cukup baik (22,11%) yang hampir setara dengan bungkil kelapa (22,34%). Kandungan protein, beta-N, kalsium (Ca), phospor (P) dan karbohidrat cukup baik, setara dengan beras. Kandungan serat yang tinggi dan kandungan lemak dan kalori yang rendah, membuatnya baik dikonsumsi oleh orang yang melakukan diet.

Potensi tumbuhan mangrove sebagai produk makanan tidak hanya bisa dimanfaatkan dari Nypa fruticans. Jenis mangrove lain memiliki potensi pemanfaatan yang tidak terbatas hanya pada gula merah maupun tepung. Aris Prayono, dkk, mencatat pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk berbagai produk olahan makanan. Sebut saja, masyarakat di kampung Rayori, distrik Supriyori Selatan, kabupaten Biak Numfor, memberikan informasi bahwa masyarakat telah memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan, terutama jenis Bruguiera gymnorrhiza, yang buahnya diolah menjadi kue.

Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove, seperti di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan, secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizopora mucronata, Acrostichum aureum (Kerakas) dan Sesbania grandiflora (Turi). B. gymnorrhiza atau biasa disebut Lindur, dikonsumsi dengan cara mencampurkannya dengan nasi, sedangkan buah A. alba (Api-api) dapat diolah menjadi kripik. Buah Sonneratia alba (Pedada) diolah menjadi sirup dan permen. Di beberapa tempat lainnya, masyarakat menggunakan buah mangrove sebagai pengganti beras dan jagung pada waktu terjadi krisis pangan.

Lewat sejumlah penjelasan di atas, setidaknya eksperimentasi warga Desa deaga merupakan sebuah upaya pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung peningkatan pendapatan mereka, tetapi juga memanfaatkan tumbuhan mangrove secara arif dan berkelanjutan. Langkah ini, merupakan sebuah pendidikan konservasi yang cukup tepat untuk dipraktikkan di tempat lain. Masyarakat bisa mengetahui, jika ekosistem mangrove – juga sumber daya alam lainnya – dikelola dengan baik, maka ia akan memberi kontribusi positif bagi kehidupan manusia. Sementara, eksploitasi sumber daya alam yang sifatnya merusak, akan berdampak bencana dan merugikan banyak orang.

Saya kira, interaksi masyarakat di berbagai tempat dengan ekosistem mangrove memiliki ceritanya masing-masing. Perusakan hutan yang berdampak hadirnya bencana ekologis, misalnya banjir, dapat menjadi catatan historis yang bisa menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat. Langkah selanjutnya yang perlu diambil, khususnya bagi pemerintah dan pegiat konservasi, adalah mengidentifikasi kondisi sosial, budaya, ekonomi serta potensi sumber daya alam di lokasi target untuk dicarikan solusi yang dekat dengan masyarakat.

Pemanfaatan buah mangrove sebagai produk olahan makanan, hanyalah salah satu contohnya. Artinya, dengan program-program yang memiliki kedekatan langsung dengan kebutuhan, maka masyarakat setempat akan terangsang untuk belajar bersama dan melibatkan dirinya dalam upaya memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Setidaknya, sampai di sini, kita bisa menyepakati bahwa program dan kebijakan yang diarahkan langsung kepada masyarakat tidak akan diterima – atau memakan banyak biaya dan waktu – jika tidak memliki ketersinggungan dengan kehidupan masyarakat sekitar. Tak jarang yang prosesnya tidak maksimal. Sebab, saya pikir, sudah kodratnya manusia mengerjakan sesuatu yang dirasa penting dan bersinggungan langsung dengan kebutuhan hidupnya.


Penulis: Aditya Nugraha
Share on Google Plus

Note Unknown

Sebagai masyarakat yang hadir dalam dunia digital, kami tidak bisa menghindari kutip-mengutip (untuk tidak menyebut copy-paste) dari dan untuk "SulutGreen.com". Kami percaya ilmu pengetahuan harus dibagikan secara gratis. Tetapi kami akan tetap menghormati karya-karya yang sudah dikutip, dengan mencantumkan nama dan sumber karya tersebut.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment