sulutgreen'

Empat Alasan Kita Perlu Terlibat Penyelamatan Yaki

Yaki, monyet hitam berjambul endemik Sulawesi Utara. Foto: Yuris Triawan
Yaki (Macaca nigra) siapa tidak pernah mendengar namanya? Barangkali, sebagian besar pembaca sudah mengetahui atau mungkin melihat langsung monyet hitam berjambul ini.

Dari sisi penyebutan, istilah ‘yaki’ sebenarnya cukup populer di Sulawesi Utara. Tolak ukurnya bisa dilihat dari kalimat candaan seperti “yakis deng ngana!” atau bagaimana sejumlah besar masyarakat menyamakan seluruh monyet dengan sebutan yaki.

Nah, pada beberapa tahun belakangan, setidaknya berdasarkan pengetahuan saya, sejumlah aktivis lingkungan dan pecinta satwa gencar mengkampanyekan penyelamatan monyet yang bokongnya kemerah-merahan ini. Kenapa? Apa pentingnya?

Baiklah. Lewat artikel berikut, saya coba mengajukan sedikit alasan _dari sekian banyak_ tentang pentingnya penyelamatan Yaki. Ada penjelasan dari para ahli lewat hasil-hasil risetnya, juga praktisi yang bisa menceritakan pengalaman empiriknya.

Apa saja alasannya? Silahkan dibaca!

Empat Alasan Kita Perlu Terlibat Penyelamatan Yaki
Seekor Yaki jantan sedang menikmati sarapan buah mengkudu di TWA Tangkoko. Foto: Yuris Triawan

Populasi Menurun 80%, Yaki Terancam Punah

Pada tahun 1978 di Cagar Alam Tangkoko, sebaran Yaki berjumah 300 ekor per kilometer. Sepuluh tahun kemudian, 1987-1988, populasinya menurun drastis tersisa 76,2 ekor per km. Tahun 1999, tinggal 58,0 ekor per km. Data tersebut, barangkali jadi salah satu indikator bagi IUCN redlist memasukkan Yaki dalam kategori terancam punah (critically endangered).

Sekarang, ia tersebar di sejumlah titik mulai dari Cagar Alam Tangkoko Batuangus (3.196 hektar), Cagar Alam Dua Sudara (4.299 hektar), Taman Wisata Alam Batuputih (615 hektar) hingga Taman Wisata Alam Batuangus (630 hektar).

Padahal, sebaran macaca di seluruh dunia hanya 23 Jenis, yang 7 jenis di antaranya berada di Sulawesi. Yaki hanya bisa ditemukan di Sulut. Artinya, jika Yaki punah maka di belahan dunia lain kita tidak akan pernah bisa menemukan keberadaan satwa ini.

Nah, dari penjelasan tadi, kita bisa tarik kesimpulan, jika Yaki punah maka tidak akan bisa menemukannya di manapun di seluruh dunia ini.

Kita tentu tidak ingin anak-cucu nantinya (ce’ilee) hanya mengetahui wujud satwa ini dari buku gambar, bukan? Tak elok juga membiarkan Yaki bernasib seperti dinosaurus, yang jadi film Jurasic Park.
Tidak!
Jangan!

Di negara ini, satwa langka sering tidak mendapat peran sebagaimana mestinya di layar kaca. Coba lihat harimau dalam tayangan 7 Manusia Harimau. Ah, jangan biarkan Yaki jadi mitos, apalagi siluman di televisi! 

Empat Alasan Kita Perlu Terlibat Penyelamatan Yaki
Satwa liar seperti Yaki memiliki peran besar dalam pertumbuhan hutan. Foto: Yuris Triawan

Yaki Bisa Menyuburkan Hutan

Satwa liar, termasuk Yaki, memiliki kontribusi besar bagi manusia. Penyebaran biji berperan dalam pembentukan hutan secara alami. Yaki memakan hingga 145 jenis buah-buahan tumbuhan hutan yang berbeda dan menyebarkan biji-bijinya di seluruh hutan agar bisa bertumbuh menjadi pohon baru.

Dampaknya, hutan tetap sehat dengan menyediakan air, udara, makanan dan sumber daya lain. Kondisi ini, sekaligus menempatkan hutan sebagai penjaga manusia dari bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

Artinya, Yaki berguna bagi alam dalam menjaga keseimbangan. Ada begitu banyak satwa liar menyebarkan benih lalu menciptakan hutan dengan begitu lebat dan membantu alam bertumbuh alami.

Peran Yaki, dan satwa liar lainnya, jelas bisa menjadi alternatif solusi bagi pemerintah untuk melestarikan lingkungan. Daripada mengeluarkan anggaran untuk penghijauan yang sering terkendala permasalahan teknis, lebih baik mengalihkan anggaran pada upaya-upaya menjaga pelestarian satwa liar di hutan.

Pemerintah tidak perlu menghabiskan dana untuk publikasi, dokumentasi, konsumsi peserta hingga biaya transportasi yang kalau ditotal entah berapa banyak nominalnya.

Dengan meningkatkan pengawasan agar aksi perburuan semakin berkurang, maka satwa-satwa liar akan dengan sendirinya melaksanakan tugas melebatkan hutan. Tanpa diperintah, tanpa dibayar.

Empat Alasan Kita Perlu Terlibat Penyelamatan Yaki
Yaki hidup secara berkelompok, bayi Yaki juga diasuh oleh kelompok induknya. Foto: Yuris Triawan

Yaki dilindungi Undang-Undang

Perlindungan Yaki, sebenarnya sudah dijamin oleh UU No 5 Tahun 1990. Di situ disebutkan, dilarang menangkap, memelihara, memburu dan memindahkan satwa dilindungi, yang berlaku pada kulit maupun tubuhnya, baik utuh maupun sebagian, baik hidup maupun mati. Hukuman bila melanggar UU ini adalah 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah.

John Tasirin, pakar Biodiversitas asal Universitas Sam Ratulangi Manado, pernah mengatakan, pemburu, pemelihara dan pedagang Yaki adalah seorang yang melanggar undang-undang. Seorang yang melanggar undang-undang berarti melanggar hukum di negara ini dan bisa dikategorikan sebagai seorang kriminal.

Ungkapan tersebut mungkin agak sedikit mengejutkan. Tapi, dari sudut pandang legal-formal, tentu saja sulit membantahnya. Paling tidak, dari penjelasan tadi, kesimpulan yang bisa ditarik adalah memburu yaki dapat menempatkan seseorang dalam posisi bermasalah dengan hukum.

Aktifitas perburuan untuk konsumsi terhadap Yaki merupakan acaman terbesar terhadap keberadaan satwa liar ini. Foto: Yuris Triawan

Pemburu Masih Tetap Ada

Sepanjang 2014-2015, sejumlah media massa memberitakan masih terdapatnya perburuan dan perdagangan Yaki. Pelakunya datang dari kelompok masyarakat yang dikategorikan awam hingga terpelajar. Alasan di balik aksi itu juga beragam, dari masalah ekonomi, tradisi hingga argumentasi logis-filosofis ala akademisi.

Namun, alasan-alasan tadi setidaknya mendapat bantahan dari peraturan perundang-undangan di negara ini. Akibatnya, pelaku yang terbukti melanggar berpotensi mendapat sanksi pidana kurungan / penjara.

Meski sudah ada sanksi bagi sebagian pemburu, namun belum bisa ditarik kesimpulan bahwa perburuan Yaki tidak akan terjadi lagi. Potensi itu masih tetap ada. Sejumlah orang diperkirakan masih menganggap satwa ini sebagai lauk yang layak disantap pada saat-saat tertentu.

Sebab, hingga Juli 2015, Yayasan Selamatkan Yaki melaporkan masih terdapatnya perdagangan Yaki menjelang pengucapan syukur di kabupaten Minahasa. Belum lagi, pihak yang berwenang mengawasi perburuan satwa dilindungi sering kali mengaku memiliki keterbatasan jumlah personil.


Nah, lewat alasan-alasan yang sudah diajukan di sini, apakah pembaca sekalian merasa perlu menyebarkan informasi atau memilih terlibat langsung penyelamatan Yaki? Pembaca sekalian yang putuskan!


#SelamatkanYaki
Apa yang sebaiknya kita lakukan:

Empat Alasan Kita Perlu Terlibat Penyelamatan Yaki
Apa yang harus dilakukan ketika melihat perdagangan Yaki di pasar / Yaki dijadikan peliharaan.
(klik disini untuk memperbesar gambar)


Penulis: Aditya Nugraha


Share on Google Plus

Note Unknown

Sebagai masyarakat yang hadir dalam dunia digital, kami tidak bisa menghindari kutip-mengutip (untuk tidak menyebut copy-paste) dari dan untuk "SulutGreen.com". Kami percaya ilmu pengetahuan harus dibagikan secara gratis. Tetapi kami akan tetap menghormati karya-karya yang sudah dikutip, dengan mencantumkan nama dan sumber karya tersebut.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment