sulutgreen'

Berlarutnya Penanganan Kasus Perburuan Yaki

Berlarutnya Penanganan Kasus Perburuan Yaki
Screen capture foto Yaki dan Kus Kus hasil buruan yang diunggah akun Facebook 'Devy Sondakh'. Sumber: Facebook
Beberapa hari lalu tepatnya 10 Agustus 2015, masyarakat Indonesia baru saja memperingati Hari Konservasi Alam Nasional. Di Sulawesi Utara para aktivis lingkungan yang tergabung merayakan momen itu di kota Bitung dengan berkampanye membagikan pin, stiker, selebaran, serta beberapa pesan. Salah satu pesannya yaitu “Brenti Jo Makang Satwa Liar.

Bercerita tentang Yaki, masih ingatkah anda dengan seorang dosen Fakultas Hukum di salah satu universitas ternama di kota Manado yang mengunggah foto hasil buruan satwa dilindungi, seperti Yaki (Macaca nigra) dan Kus-kus kerdil (Strigocuscus celebensis) pada bulan Desember 2014 lalu. Beberapa warga Sulut yang tergabung dalam komunitas pencinta alam sudah pernah mendengarnya bukan?

Sebelum kita lanjut, SulutGreen akan membahas salah satu hewan hasil buruannya, yaituYaki.

Berlarutnya Penanganan Kasus Perburuan Yaki
Yaki (Macaca nigra), salah satu satwa endemik Sulawesi Utara yang terancam punah. Foto: dok.SulutGreen

Sekilas tentang Yaki.

Yaki yang  juga dikenal dengan nama ilmiah Macaca Nigra adalah satu dari tujuh spesies Macaca yang tersebar di Sulawesi dan hanya dapat ditemukan di hutan Sulawesi Utara, tidak pada tempat lain di dunia, sehingga menjadikan mereka spesies endemik.

Yaki juga telah mengalami penurunan populasi sebanyak lebih dari 80 persen dalam kurun waktu 40 tahun. Itulah sebabnya International Union for Conservation of Nature (Serikat International untuk Konservasi Alam) memberikan status sangat terancam punah bagi Yaki dalam Red List (Daftar Merah) hewan yang terancam punah yang telah disepakati secara internasional.

Dan tahukah anda bahwa ancaman utama bagi Yaki adalah perburuan dan hilangnya habitat alami satwa ini. Hewan endemik ini dilindungi oleh hukum nasional, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa.
“UU No.5 Tahun 1990 Pasal 21: Menangkap, memelihara, memburu, menjual, memindahkan, kulit atau tubuh, menyimpan utuh atau sebagian, hidup atau mati, dihukum 5 tahun penjara atau denda 100 juta Rupiah”

Kembali pada topik awal. Berdasarkan informasi, pemilik akun Facebook dengan nama Devy Sondakh berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum. Menuliskan keterangan pada foto yang diunggah tersebut “Hasil berburu kemarin: Para kembaranku, Natalan bersama…”

Postingan itu kemudian tersebar di jejaring sosial Facebook dan ditanggapi oleh para Pencinta Alam Sulut, BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sulut, Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Yayasan Selamatkan Yaki, ditingkat lokal sampai akun-akun lain ditingkat nasional.

Sejak foto itu dibagikan dan tersebar luas di jejaring sosial, BKSDA Sulut pada Desember 2014 melaporkan pemilik akun kepada pihak Polda Sulut.

Setelah memasuki delapan bulan sejak foto itu dibagikan di Facebook, tahukah anda sudah sejauh mana perkembangan penanganan laporan yang masuk kepada pihak berwajib?

Rabu siang, 12 Agustus 2015, tim dari SulutGreen berkunjung di Polda Sulut dan menemui Wilson Damanik, Kabag Humas Polda Sulut untuk mengetahui perkembangan penanganan dari pelanggaran hukum yang telah dilaporkan BKSDA tersebut. Dalam wawancara singkat Kabag Humas Polda Sulut mengatakan “Semua kasus yang masuk di Polda Sulut akan ditangani. Saat ini, kasus sedang dalam proses. Pelaku akan diproses hukum sesuai UU keanekaragaman hayati."

Saat ditanyakan status dari Devy Sondakh, Kabag Humas mengatakan “untuk status pelaku belum jelas, karena secara teknis perlu berkoordinasi dengan Bareskrim, soal teknis penerapan aturan.” Demikian hasil laporan dari kantor kepolisian Sulut.

Dalam penanganan kasus ini ditanggapi oleh John Tasirin seorang Pakar Biodiversitas yang diwawancarai SulutGreen. Saat ditanyakan apa tanggapan dari John terkait laporan yang sudah masuk pada pihak yang berwenang dalam hal ini Kepolisian dan telah memasuki bulan kedelapan. John mengatakan bahwa secara undang-undang sebenarnya sudah jelas. "Kalau kita berandai-andai kenapa kasusnya belum diproses mungkin karena perburuan satwa belum menjadi prioritas. Tidak prioritas, salah prioritas, atau memandang hukum secara parsial. Harusnya hukum tetaplah hukum. Biarpun keras dia adalah hukum. Jadi biarpun ringan atau berat, hukum tetaplah hukum.”

Sebenarnya, aturan kita sudah terorganisir secara global. Karena, dengan diratifikasinya Convesi Biological Diversity (CBD) maka pemerintah Indonesia terikat pada kesepakatan internasional, misalnya oleh IUCN, soal status kelangkaan atau dengan CITES terkait transportasi dan perdagangan." Demikian tanggapan John yang juga berprofesi sebagai staff pengajar di Fakultas Pertanian UNSRAT.

John juga merespon soal bagaimana penanganan kasus perburuan satwa dilindungi di Sulawesi Utara, katanya berdasarkan pengalaman selama ini, Polisi yang melepas sendiri orang-orang yang kedapatan berburu, barangkali berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial tertentu. Pelaku diminta menandatangani kesepakatan, seperti tidak akan mengulangi kesalahan dan berjanji akan membantu dalam program perlindungan satwa. Dengan demikian akhirnya proses hukumnya tidak dilanjutkan. “Itu yang saya ingat. Saya tidak tahu apakah ada prosedur resmi semacam ini.”

Menurut John secara resmi, akademisi belum pernah dilibatkan oleh kepolisian untuk menjadi saksi ahli, khususnya dalam kasus-kasus perburuan satwa liar. Saya pikir, kurikulum tentang lingkungan hidup mesti ada di sekolah-sekolah Polisi. Misalnya, perlu juga diketahui jenis-jenis satwa yang masuk daftar dilindungi.

Sulutgreen juga menemui langsung dan mewawancarai Yunita Siwi dari Education Officer Selamatkan Yaki dan menghubungi Stephan Lentey dari Macaca Nigra Project soal taggapan mereka tentang kasus Devy Sondakh.

Yunita menyayangkan kasus perburuan Yaki yang sudah dilaporkan 8 bulan lalu ini belum menemukan kejelasan hukum, menurutnya mungkin karena kesibukan masing-masing aktivis sehingga kasus ini sampai sekian lama jalan di tempat.

Yunita juga beranggapan bahwa ada indikasi tidak fokusnya penegak hukum pada isu perburuan satwa. “Karena kalau ada perhatian, harusnya kasus ini tidak terdiam,ujar Yunita.

Sementara itu menurut Stephan kasus ini harus diangkat lagi kepermukaan. “Kita tidak boleh pesimis. Ini kasus berat dan sudah 8 bulan belum ada kejelasan. Karena kalau tidak ditangani, maka kemungkinan perburuan Yaki akan semakin meningkat. Sebab pelakunya adalah Doktor Hukum. Ini jadi semacam contoh terbaik untuk hal buruk. Jangan lupakan kasus ini,” tegas Stephan.

Berlarutnya Penanganan Kasus Perburuan Yaki
Sejumlah aktivis lingkungan memperingati Hari Konservasi Alam Nasional, 10 Agustus 2015 di kota Bitung. Foto: Tamporok [Facebook]

Ayo Selamatkan Yaki dan satwa-satwa yang terancam punah. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Kalau bukan Torang siapa lagi… 


Penulis: Viando Manarisip
Share on Google Plus

Note Unknown

Sebagai masyarakat yang hadir dalam dunia digital, kami tidak bisa menghindari kutip-mengutip (untuk tidak menyebut copy-paste) dari dan untuk "SulutGreen.com". Kami percaya ilmu pengetahuan harus dibagikan secara gratis. Tetapi kami akan tetap menghormati karya-karya yang sudah dikutip, dengan mencantumkan nama dan sumber karya tersebut.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment