*Oleh: Johny Tasirin
Yaki adalah nama lokal dari monyet hitam Sulawesi. Kata Yaki bagi sebagian kecil penduduk tradisional Minahasa berarti daging untuk pangan. Daging Yaki bahkan dianggap makanan istimewa dan karena itu hanya disediakan pada hari-hari khusus. Daging Yaki memegang mitos sebagai daging berkhasiat obat yang panas. Tapi dampak panasnya daging Yaki tidak hanya pada urusan jasmani tapi sampai ke tatanan sosial, budaya dan hukum Indonesia.
Di mata hukum dan sains, manakah satwa yang disebut Yaki ini? Saat para saudagar dan petualang Eropa di abad lampau bertemu dengan Yaki diidentifikasi sebagai “Sulawesi Black Apes” atau Kera Hitam Sulawesi. Dalam sistematika hewan, kera (apes) berbeda dari monyet (monkeys). Kera bertubuh besar, tidak berekor dan lebih menghabiskan waktunya di tanah. Sedangkan monyet bertubuh kecil, memiliki ekor dan lebih banyak menghabiskan waktunya di pohon. Para petualang menarik kesimpulan bahwa Yaki adalah kera berdasarkan bentuk morfologi satwa liar itu tidak seperti monyet yang mereka kenal.
Saat sistematika jenis primata ini direvisi dalam artikel “Taxonomy and evolution of the monkeys of Celebes” pada tahun 1969, spesimen dari Sulawesi Utara ini digolongkan dalam marga (genus) Cynopithecus dengan nama jenis Cynopithecus niger. Sistematika ini masih digunakan di banyak pubikasi ilmiah sampai tahun 1993. Disaat itu jenis Yaki yang ada di Gorontalo dianggap satu jenis dengan yang ada di Minahasa walaupun dalam buku The Ecology of Sulawesi tahun 1987, dua jenis Yaki utara ini sudah disebut sub-species Macaca nigra nigra dan Macaca nigra nigrescens. Buku Primate Taxonomy tahun 2001 yang memisahkan Macaca nigra (Minahasa-Mongondow) dan Macaca nigrescens (Mongondow-Gorontalo). Jadi, sejak saat itu Yaki yang disebut dengan nama ilmiah C. niger dipisah menjadi 2 jenis Yaki M. nigra dan M. nigrescens. Yang pertama dinamakan Sulawesi crested-black macaques dan yang satunya lagi dinamakan Sulawesi Black Macaques. Di buku itu juga, M. hecki dipisahkan dari M. tonkeana dan M. ochreata dipisahkan dari M. brunnescens. Dengan demikian, saat ini ada 7 jenis dalam marga Macaca di Sulawesi yakni nigra, nigrescens, hecki, tonkeana, maura, ochreata, dan brunnescens. Dalam dabase Mammals of The World, jenis ochreata dan brunnescens adalah sub-species dari M. ochreata. Semuanya itu oleh orang manado disebut Yaki.
Daftar jenis flora dan fauna yang dilindungi di Indonesia terbit pada tahun 1999 (PP 7/1999) mencantumkan jenis Yaki dengan nama Cynopithecus niger, Macaca brunnescens, Macaca maura, dan Macaca Tonkeana. Maka yang dimaksud dengan Cynopithecus niger yang ditemukan di Minahasa, Bolaang, Mongondow, dan Gorontalo saat ini adalah Macaca nigra dan Macaca nigrescens yang sama-sama diberi status kelangkaan yang kritis oleh IUCN.
Lalu panasnya dimana? Ada tujuh titik!
Titik panas pertama, Yaki adalah perawat alam Sulawesi. Status perlindungan yang dianugerahkan pemerintah kepada Yaki ini bukanlah sekedar melindungi Yaki. Ada maksud lain yang lebih mulia dibalik penetapan ini. Ketujuh jenis Yaki dari marga Macaca ini adalah asli Sulawesi. Mereka adalah unsur utama pembentuk ekosistem Sulawesi. Bersama-sama dengan 76 jenis mamalia, 84 jenis burung, 29 jenis reptilia dan ampibia endemik Sulawesi lainnya, Yaki telah mengantar suksesi hutan-hutan Sulawesi selama ribuan tahun. Yang masih bisa kita lihat di beberapa kawasan lindung di Sulawesi adalah karya nyata dari proses ini. Sebagian besar telah ditebang dan memberikan sumbangsih sangat besar pada perekonomian Indonesia sampai era 1980an. Sebagian lain telah menjadi lahan pertanian yang subur. Proyek reboisasi dan penghijaun yang telah dilakukan selama puluhan tahun masih belum bisa menandingi hasil peliharaan alam ini. Dan, bisa dipastikan, tidak ada ekosistem buatan manusia yang bisa menyamai kestabilan ekosistem alam yang diciptakan secara kolektif oleh satwa-satwa asli Sulawesi ini.
Titik panas kedua, persepsi yang keliru bahwa Yaki berkhasiat obat. Tidak ada bukti konkrit dan ilmiah bahwa daging Yaki itu bisa menyembuhkan ashma, alergi, atau darah tinggi seperti yang dipercaya sekarang ini. Pembicaraan yang sering terdengar dari para pengkonsumsi daging Yaki adalah daging Yaki itu panas. Kata panas tersebut biasanya memberi indikasi bahwa “jangan makan terlalu bayak, anda bisa plaka atau tewas, cepat atau lambat”.
Titik panas ketiga, Yaki adalah makanan tradisional. Pendapat ini mendapat momentum ketika nilai kesukuan di Minahasa mulai merangkak menjadi nilai universal masyarakat adat dan pribumi. Ketika mencari identitas ke-Minahasa-an, ada sementara orang yang mengidentifikasikan mengkonsumsi daging Yaki sebagai salah satu identitas. Untuk sementara orang, daging Yaki hampir identik dengan pengucapan syukur dan perayaan Natal. Yaki awalnya dikonsumsi oleh sebagian orang Minahasa tradisionil yang terpaksa mencari pasokan protein di hutan. Ketika daging Yaki masuk ke meja makan di desa ada nuansa lain sehingga orang enggan mengkonsumsinya. Yang menjadi identitas magis adalah Yaki, bukan dagingnya. Daging satwa yang lebih diterima adalah rusa dan babi utan.
Titik panas keempat, Yaki memiliki nilai budaya. Tengkorak Yaki menjadi penghias utama pakaian perang suku bangsa Minahasa. Mengalungkan tengkorak Yaki dianggap sebagai pemberi kekuatan dan keberanian lebih saat menghadapi musuh. Ekspresi tersebut masih terpelihara dalam tarian tradisonil Kabasaran atau Cakalele. Bahkan beberapa ekspresi para pahlawan perang tersebut meniru mimic wajah Yaki dan gerakan kepala Yaki ketika menunjukan gerakan ancaman kepada musuh. Gerakan yang dimaksud adalah bibir mengecap sambil kepala diangguk-anggukan. Tradisi ini lahir dan bertahan oleh adanya Yaki.
Titik panas kelima, ilmu Yaki lebih cepat dari kebijakan pemerintah. Banyak perkembangan yang telah terjadi selama 15 tahun terakhir ini yang menuntut agar PP 7/99 ini perlu direvisi. Yaki hanyalah salah satu contoh urgensi perbaikan Peraturan Pemerintah tersebut. Dengan diratifikasinya Convensi Biological Diversity (UU 5/1994), maka pemerintah Indonesia terikat pada kesepakatan internasional yang diatur oleh misalnya IUCN (status kelangkaan) dan CITES (transportasi dan perdagangan). Dalam penyusunan kebijakan publik baik oleh pemerintah maupun NGO (organisasi non pemerintah), aturan ini cukup memadai, tetapi untuk ketegasan dalam keputusan hukum aturan ini tidak memadai. Misalnya, ada 4 jenis Yaki dalam wilayah geografi Sulawesi yang terdaftar dalam PP 7/99. Dengan kemajuan riset dan ilmu pengetahuan, jenis-jenis tersebut secara ilmiah telah dipisah menjadi 7 jenis. Eksplorasi yang lebih banyak di pedalaman Indonesia mengakibatkan ada banyak jenis yang sangat layak dimasukan dalam daftar dan ada beberapa yang justru dicabut dari daftar PP 7/99.
TItik panas keenam, Yaki punah bukan karena dimakan. Konsumsi daging Yaki bukan penyebab kepunahan Yaki tetapi penyebabnya adalah kerusakan habitat oleh para perusahaan pemegang hak konsensi hutan yang merusak habitat Yaki secara besar-besaran. Studi dinamika populasi Yaki membuktikan bahwa laju konsumsi daging Yaki (dengan jumlah penduduk dan luasan hutan yang ada) saat ini telah mengakibatkan penurunan populasi Yaki. Benar perusakan habitat oleh penebangan hutan, baik itu dengan maupun tanpa ijin akan mengakibatkan berkurangnya habitat Yaki. Akibatnya, populasi Yaki akan berkurang lalu Yaki yang bertahan hidup akan memicu konflik sosial karena merambah ladang-ladang pertanian penduduk. Kebijakan penebangan hutan yang keliru tidak serta-merta memberi legitimasi untuk membunuh Yaki dan mengkonsumsi dagingnya. Dalam hal ini bahwa ancaman terhadap manusia menjadi serius maka kepentingan manusia yang hakiki harus diutamakan.
Titik panas ketujuh, pilih Yaki atau manusia. Menjaga populasi Yaki di alam adalah untuk kepentingan manusia. Semua jenis satwa di alam merupakan unsur penting yang menjamin kelangsungan hidup hutan-hutan Sulawesi. Kebijakan reboisasi dan penghijauan, pengayaan jenis oleh pemegang HPH, metode Tebang Pilih Indonesia yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun dan menghabiskan trillyunan rupiah tidak kelihatan hasil yang nyata. Alam justru telah menyediakan Yaki dan satwa lainnya untuk memelihara hutan, mengendalikan serangga hama, menyediakan kenyamanan hidup, menjamin tata air, dan menyangga ekonomi daerah.
Panasnya daging Yaki tidak hanya menimbulkan konflik dalam denyut tradisi rakyat Minahasa tetapi juga menjadi hipertensi pada nadi kebijakan pemerintah Indonesia. Banyak satwa asli Indonesia, yang telah merajut alam dan ekonomi Indonesia, perlu dilindungi oleh rakyat yang juga harus paham dan bangga atas warisan alam yang dimilikinya. Pemerintah perlu mengatur.
*Penulis: Johny Tasirin
PhD, School of Geography and Environmental Studies, University of Tasmania, Australia.
Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi.
0 comments:
Post a Comment